Sabtu, 08 September 2012

AIr Mataku...











DIBALIK AIR MATA INI

“Rasti…” seorang wanita tua berumur 40 tahunan dengan suaranya yang lembut tampak memanggilku dari arah dapur. Iya, dia ibuku. aku memanggilnya umi.
“Iya, sebentar bu,” dengan nada suara keras aku membalas sautan suara itu.
Aku, dengan kemeja putih garis-garis, celana jeans coklat penuh motif mendatangi umi, seorang wanita tua tmpak indah dengan gaun muslim abu-abu polos lengkap dengan jilbab putihnya sedang duduk menonton televisi,
“Iya umi, kenapa?” layaknya manusia yang kurang darah aku bertanya apa maksud umi memanggilku. Lemas.
“Apa kamu tau kabar Adit mau datang?” kalimat ini membuatku darahku bertambah.
“masa mi,? kok aku gak dikasih tau ya,,” aku tersenyum bahagia.
Adit adalah saudara laki-lakiku, abangku. Dia selalu jahil padaku, maklumlah aku adalah satu-satunya adiknya dan sedikit temannya di kampung ini. Dia kuliah di universitas Indonesia, bogor. Jurusan sastra Indonesia. Ketika aku masih duduk di bangku smp dia pergi kuliah di bogor, dia tidak pernah pulang hanya sekadar memberi kabar via telepon dan sms terkadang chatting melalui internet. Dan saat ini dia sudah wisuda,dia termasuk mahasiswa yang paling cepat wisuda di kelasnya bahkan di angkatannya. Dan aku masih kelas 3 SMA.
“udah senyumnya, duduk sini, umi mau Tanya sesuatu,” tiba-tiba umi memecah angan-anganku dengan tangannya menepuk pelan ke permukaan sofa.
“iya mi, ada apa si mi,” dengan sedikit manja aku duduk sedikit bersandar dipundak umi.
“tau kan anak pak lurah, si azizah, menurut umi dia cantik dan sholehah, gimana menurut kamu ras?” dengan mengelus tangan kananku, umi bertanya hal itu padaku.
“kenapa lho umi, tumben ngomongin anak gadis orang, dia cantik, baik juga.” Masih dengan gaya manja aku sedikit penasaran.
“gak, abangmu kan sudah dewasa, umurnya juga sudah menginjak usia 22 tahun dan dia sudah waktunya untuk mulai mencari calon istri, iya, umi rencana mau jodohkan azizah sama abangmu, kamu setuju gak?”
“….” Kalimat yang baru saja diucapkan oleh umi,benar-benar membuat aku copot jantung, apa yang harus aku lakukan. Baiklah, aku bersikap biasa.
“o gitu tho.. ya itu mah terserah abang aja, kalo umi setuju bukan berarti abang cocok, ya gak mi?, mi aqu mau ke kamar sebentar.” Aku memotong obrolan dan cepat-cepat menuju ke kamarku.
“astaghfirullahal’adzim, mulai lagi, astaghfirullah.. ya Allah hamba tau benar perasaan ini perasaan semacam apa, namun hamba masih belum sanggup untuk mengaku pada diri hamba ini bahwa hamba memiliki perasaan yang tidak benar pada saudara hamba, saudara laki-laki hamba, astaghfirullah..” aku hanya mampu meneteskan air mata. Sakit rasanya, dan itu benar-benar membuatku tidak mampu menahan air mata ini. Aku tau seharusnya aku bahagia kakakku sedang dicarikan calon dan yang jelas dia akan menikah. Hatiku sakit sekali. Aku tidak mampu berbuat banyak. Aku hanya mampu merebahkan tubuhku ini. Aku lelah.
Hari itu tiba.
Aku senang dan aku takut, bahkan rasa takutku melebihi rasa senangku. Aku mulai merasakan perasaan tidak benar ini ketika aku sedang duduk di kelas 2 SMP, dia memberiku perhatian dan kekhawatiran yang lebih dari seorang kakak. Dan saat itupun aku tau apa yang seharusnya aku lakukan, yaitu melupakan adanya perasaan ini. Aku menahannya sampai saat ini.
“assalamu’alaikum..” suara itu, aku mengenalnya. Iya, itu dia, Adit prasetyo. Abangku.
“waalaikumussalam,” suara umi dengan reflek kebahagiaan yang bercampur aduk dengan rasa rindu seorang ibu terhadap anaknya.
“waalaikumussalam,” keheninganku terpecah mendengar jawaban salam umi, dan besarnya rasa ingin bertemu dengannya.
Aku mendatangi arah suara itu, terlihat seorang lelaki dewasa gagah sedang memeluk umi, dengan perpaduan pas antara berat badan dan tingginya membuat nyaman dipandang, dia memakai kaos putih berkerah dan celana bahan berukuran pas. Aku tau inilah dia, dihadapanku. Tiba-tiba pandangannya beralih ke sudut yang berbeda dari umi. Iya, dia memandangku,
“rastiii….” Tanpa basa basi dia langsung memelukku erat.
“uhuk uhuk! Gila lho, woy sadar bro, ini anak orang bro,” aku berkata pelan dengan penekanan yang berat, akibat pelukannya.
“o maaf ras, coba liat ada yang berubah gak sama adik perempuanku ini,” dengan tangan kanannya mengerak-gerakkan wajahku ke kanan dan kekiri setelah pelukan mautnya dia lepas dariku.
“apaan si,” aku hentikan semua itu dengan nada tinggi.
“ras, kamu gak kangen apa ama aku, kamarku dah dibereskan belum?” gaya salah satu dari manusia aneh dimana 4 tahun yang lalu adalah kali terakhirku mengalaminya. Dia masih seperti dulu.
Aku mengantarnya ke sebuah kamar, rapi dan tetap seperti awal ketika dia mengeluarkan langkah pertamanya menuju tempat lain yang jauh dari kampung ini.
“ kamar ini tidak pernah berubah, oiya, dek, kamu udah punya pacar belum?” sembari melihat-lihat kamar lamanya dia bertanya sesuatu yang tidak penting.
“belumlah, aku mau fokus belajar, aku kan mau lulus masuk UPI, kenapa emangnnya?”
“gak papa ya udah dek, pergi sono aku mau mandi trus solat dzuhur” sedikit senyum ia lontarkan namun sengaja disembunyikan dan ditutupi oleh pengusiran tragis seperti ini. Sebal.
“ih, gak bersyukur udah dianter mpe kamar dibawain tasnya, uu..” tidak sadar aku meluapkan semua rasa amarahku. Sebal.

Sore hari,
“huaaaaammzz…” aku dan umi melihat ke arah suara itu, itu dia, abangku adit yang keluar dari kamar dengan meregangkan kedua tangannya. Baru bangun dari tidurnya.
“sore semua,” tanpa kalimat atau ekspresi lain dia berlalu cepat ke kamar mandi.
“mi, udah adzan ashar belum?” suara itu ada lagi sekembalinya dari kamar mandi,
“belum bang, bentar lagi,” aku menjawab pertanyaannya tanpa melihatnya sedikitpun. Aku takut.

17.00 waktu Indonesia bagian tanjung jaya.
Tanjung jaya adalah desa kelahiranku, tempat semua kenanganku dan tempat tinggalku sampai detik ini.
“dek..”
“apa bang,?” aku melepas suaraku dan membiarkannya terdengar melalui celah-celah kamar.
“tok tok tok.. dek keluar yok, anter abang jalan-jalan, nanti abang traktir bakso, gimana?”
“hm, boleh” aku mengiyakan tanpa adanya ekspresi lebih selain muka tegang seperti halnya aku sedang menghadapi ujian akhir sekolah. Aku takut. Di sudut kamar aku duduk lemas,
Aku sudah mencoba melepas perasaan ini, aku memakai cara lama, aku menjauh darinya namun aku benar-benar tidak bisa lari dari hal ini. Aku akan mencoba cara baru, aku akan menghadapi ini. Aku tidak akan menyerah.
“dek, siap-siap ya, abis magrib abang tunggu di motor.” Jeritan itu menegarkanku. Aku tersenyum.
“aku pasti bisa.” Aku menghibur diri sendiri.
Ba’da magrib.
Aku keluar dari kamarku, dan menutup pintu sedang hatiku terus mengucap bismillah. Ya Allah tolong aku.
“woy, lama amat. Abang mpe capek nunggunya, yuk,” tangannya menepuk punggungku dan menarikku.
“mi, aku pergi ama rasti bentar ke warung ya bu,”
“iya, ati-ati dit, jangan ngebut,” terdengar  perizinan dari jarak jauh. Aku bingung, 15 detik yang terasa begitu lama, aku memandangnya, terasa begitu dekat. Hatiku berdegub kendang.
“astaghfirullah..” aku berbisik dan menghentikan aktifitas itu.
“dek, naik.. pegangan ya.”
Malam itu malam yang mendung, sehingga tak sedikitpun terlihat bintang dan bulan. Aku bingung, aku harus bagaimana. Awalnya aku tidak ingin berpegangan, namun semakin lama laju motor supra x biru it uterus bertambah. Aku mulai takut. Akhirnya dengan memejamkan mata, tanganku memeluknya, aku benar-benar takut.
Tiba-tiba laju motor itu menurun. Iya, kami sampai tujuan. di sebuah warung bakso lengkap dengan gerobak khas tukang bakso, aku turun.
“dek, bakso apa mi ayam?” Tanya abang.
“aku mi ayam aja bang.” Jawabku.
“oke, duduklah, tu di ujung kosong.” Dia menyuruhku duduk.
“oke. Gpl (gak pake lama)”
Aku mendatangi sudut warung itu dan duduk di sebelah kiri dari gerobak bakso berwarna hijau itu. aku menunggunya.
“aku bisa menghadapi ini.” Aku memandanginya dari jauh. Aku teringat pertama kali dimana aku mulai sadar aku memiliki perasaan aneh pada abang. Malam itu, sepulangku dari sekolah setelah selesai mengerjakan tugasku, hujan turun. Aku berteduh di sebuah pohon besar. Cahaya lampu yang sedikit redup dari sebuah rumah ditambah dengan percikan hujan membuat tempat berteduhku tidak terlalu terang. Sepuluh menit berlalu, namun hujan belum berlalu dari hadapanku. Aku terus mengelus tanganku, aku kedinginan.
“ini sudah malam. Aku harus pulang. Tak apalah basah, aku harus sampai rumah sebelum jam 8, nanti umi marah.” Ucapku dalam hati.
Sebentar lagi aku sampai, dan terlihat saat itu ada seorang lelaki berdiri, seolah sedang menungguku. Aku mendekat. Itu teman sekolahku, Agus.
“ada apa gus,? hujan-hujan begini ada apa dirumahku.” Di bawah sebuah halte bus di depan rumahku aku berdua dengannya.
“aku udah nunggu kamu lama disini. Kamu dari mana aja? Sampe basah begini.” Jelasnya sembari kedua tangannya menyentuhku menghilangkan air yang meresap di bajuku. Saat itu hening. Aku sedikit takut. Tangannya sampai ke tanganku, ke jari-jariku, dia memegang kedua tanganku erat, dia menciumnya.
“apa-apaan ini gus, ada apa lho” aku melepaskan genggaman itu. tertalu mengerikan bagi anak SMP kelas 2 hal-hal semacam ini.
“rasti..” tiba-tiba dia memelukku erat sekali. Sesak sekali rasanya.
“apaan si kamu begini?” aku mencoba melepaskan pelukan itu.
“rasti, aku sayang ama kamu, aku mau kamu jadi pacarku” pelukannya semakin erat.
“ihh… apaan si.” Nada suaraku sedikit tinggi.
Tiba-tiba abang datang dan melepaskanku dari pelukan mengerikan itu. dan langsung memelukku. Wajahku tepat di depan dadanya yang bidang. Aku aman.
“kamu jangan macam-macam ya sama rasti, sampe kamu berani deketin rasti lagi, kamu akan tau apa akibatnya berurusan denganku. Pergi sana! Dan jangan pernah mencoba untuk datang lagi kesini. Ngerti!” aku tak pernah melihatnya begitu marah seperti ini.
“dek, kamu gak papa kan?” kedua tangannya memegang wajahku.
“hm..” aku mengangguk. Dan dia memelukku, dia mengantarku ke rumah. Iya, kami basah.
Sebelum sampai rumah, dia melepaskan pelukannya, dia memandangku,
“dek, mulai saat ini jangan pernah membiarkan orang mendekati kamu sembarangan ya, jangan pernah dekat-dekat dengan laki-laki lain ya, kamu ngerti kan?” aku hanya bisa mengangguk, aku tak bisa melepaskan pandanganku beralih ke arah manapun, aku terus memandanginya. Rasanya hangat.
Mulai saat itu aku terus berfikir apa maksud dari kalimat terakhir yang dia lontarkan padaku saat itu, dia melarangku dekat dengan laki-laki lain. Hatiku tidak bisa berbohong aku mencintainya, tapi aku tau ini salah.
“astaghfirullah,” aku menghentikan pekerjaan yang tidak ada habisnya itu. Memandangnya.
“ini mi kamu dek, makan yang banyak ya?”dia mengacak-acak rambutku.
“dek, sepertinya, kamu lebih cantik memakai jilbab deh. Dek, tau gak, abang dapet tawaran kerja sebagai wartawan di Jakarta, abang harus ke Jakarta besok, kira-kira seminggu lagi abang pulang.”
“o.. gitu bang, y udah semangat ya bang,” aku tau kalimat ini tidak menunjukan jati diriku sebenarnya. Jauh dalam lubuk hatiku aku menangis sejadi-jadinya, ini adalah kali pertama dia pulang setelah lama sekali tidak kembali ke rumah. Besok dia pulang. Hal ini benar-benar menyayat hatiku.
Di jalan menuju pulang.
Sesampainya dirumah, aku turun dan langsung berjalan ke dalam rumah. Tiba-tiba sebuah tangan memegang erat tanganku. Iya, ada yang menahan kepergianku dari tempat itu. Dia abangku, dia menarikku jatuh ke dalam pelukannya. Dia terisak, semakin lama semakin jelas suara tangisnya.
“ada apa bang, kenapa menangis?” aku mengelus punnggungnya, mencoba menenangkannya
“aku merasakan sesuatu yang tidak mampu aku menahanya” apa yang dia maksud dengan kalimat ini. Aku bingung.
“dek, maafin abang dek, abang gak tau lagi harus bagaimana,”
“bang, jelasin dulu ke aku, ada apa,”
“dek, awalnya sayang abang ke rasti memang sayang seorang kakak kepada adiknya, tapi setelah tau kalau kita ini adalah saudara tiri, rasa sayang abang ke kamu beda,” di melepaskan pelukannya dan mulai memandangku.
“apa bang, kita saudara tiri?”
“iya, kita saudara tiri, mengetahuinya waktu kamu kelas 2 SMP,  abang gak berdiam diri, abang mencari tau apakah saudara tiri itu bisa menikah atau tidak, jawaban yang abang dapat beragam, namun yang abang yakini adalah bisa, selama orang tua kita tidak bercampur, dan sampai saat ini abang belum tau apakah abi meninggal sebelum atau setelah bercampur dengan umi. Namun dalam Alqur’an surat An-nisa ayat 23 tidak dijelaskan adanya larangan saudara tiri menikah. Dengarkan abang dek, sekarang yang penting dalam hidup abang adalah apakah kamu punya rasa yang sama ama abang?” dia terus memandangku dengan wajah penasaran.
“bang, mungkin bibirku tidak mampu menjelaskan dengan jelas perasaan apa yang aku rasain, tapi hatiku menyetujui dan mengiyakan pertanyaan abang.” Aku menundukan kepala. Aku malu. Dia tersenyum dan mengacak-acak rambutku,
“dek, udah pernah pakai jilbab?” tanyanya.
“udahlah, aku sering ikut umi pengajian,” jawabku.
“dek, bukan itu maksud abang, kamu sudah dewasa, kamu sudah saatnya menutup auratmu, abang sarankan sebelum terlambat, kalo kamu udah di kampus, kamu makin susah aja istiqomah. Dek, percaya sama abang, coba dulu. Oke?” jelasnya dengan menepuk kecil pundakku.
“iya deh, yuk masuk.” Aku menghentikan suasana ini.
Keesokan harinya, ketika aku bangun. Aku tau dia sudah pergi. Itu adalah kebiasaan buruknya, tidak pernah pamit padaku.
“bip bip..” suara sms HP ku..
“dek, aku pulang pas ditahun baru islam 1 muharam, minggu kedua setelah ini. Abang mau melamarmu, abang ingin mengikat renggang kamu, agar kamu tidak macam-macam di universitas nanti, jadilah calon istri yang baik, oke?” aku tersenyum.
Satu minggu berlalu dan sekarang adalah senin diminggu kedua, aku sudah memakai jilbab, tidak hanya pengajian saja, namun aku gunakan penutup aurat ini sebagai ciri khasku sebagai seorang muslimah. Aku tidak pernah melihat laki-laki manapun. Aku akan selalu menjaganya, umi sudah tau, umi tidak marah, hanya tidak pernah terfikir bahwa aku dan abang memiliki perasaan yang termasuk sesuatu yang jarang terjadi. Hatiku senang.
Kamis di minggu kedua,
Aku masih seperti biasa, sekolah layaknya anak SMA lainnya. Aku semakin bahagia, bukan hanya hari itu sebentar lagi akan datang. Tapi, abang mengirimiku sebuah kerudung putih dengan motif bunga di bagian kepalanya, dan di samping dahi kanan, ada huruf  “R” yang berarti rasti, dan secarik kertas. Aku tau ini surat darinya.
“assalamu’alaikum wahai wanita calon penghuni surga, 3 hari lagi aku akan datang sebagai lelaki dewasa yang akan melamar wanita yang selalu ada di hatinya, dan tak pernah ia lupakan.”
Dilipatan surat itu ada sebuah foto, 2 cincin, dan kalimat dibelakang foto itu.
“bukti langsung sebuah pertunangan”
“bip..bip..” suara sms HPku berbunyi.
“dek, gimana kirimannya nyampek, dek, mulai sekarang abang gak akan sms adek lagi. Abang mau fokus, abang mau serius mencari uang untuk tunangan ini.”
“iya, aku mengerti”. Smsku terlihat begitu tegar. Dan aku disini menangis.
Hari ini tiba,
“ini dia, aku memakai jilbab ini, cantik kah aku?” senyumku memenuhi layar cermin. Aku bahagia.
Aku menghampiri umi, terlihat umi sedang sibuk mempersiapkan makanan untuk dishodaqohkan ke masjid At-taqwa, masjid dekat rumah kami. Disana diadakan acara rutin tahunan setiap tahun baru islam yaitu mengumpulkan anak yatim di sekampung, dan para warga memberikan yang selayaknya untuk mereka.
“umi, aku cantik gak?”
“cantik, aduh.. cantik sekali anak umi, apa kamu mau menikah cepat-cepat, dan meninggalkan umi sendirian disini,?” umi mengatakan sesuatu yang benar-benar membuat suasana bahagia saat itu menjadi keharuan yang berkesan.
“umi, jangan ngomong begitu, aku tau tapi aku belum mau menikah cepat-cepat umi.”
“tok..tok.. bu, ayo bu, berangkat bareng.” Suara itu membuat kami kembali dan tidak semakin berlarut-larut dalam keharuan itu.
“oia bu, iya, ni sebentar lagi, Rasti,, ibu berangkat ya,?”
“iya bu, salam buat pakde ma bukde, mereka pasti sudah dimasjid.”
Aku menunggunya,
Hari sudah malam, kenapa dia belum juga pulang,
“huft.” Aku lelah menunggunya seharian. Aku pergi ke warung mi ayam, dimana tempat ini adalah tempat yang berkesan bagiku. Aku membeli mi ayam 2 bungkus dan membawanya pulang,
Di depan rumah.
aku melihat keramaian memenuhi rumahku, aku kebingungan ada apa sebenarnya
“maaf bu, kenapa disini rame?, ada apa bu?” aku bertanya kepada seseorang yang sedang lewat dan berhenti untuk mencari tau apa yang sebenarnya sedang terjadi.
“itu, katanya penghuni rumah ini ada yang meninggal.” Kalimat ini, menyakitiku, aku diam dan benar-benar lemas, mi ayam yang terbungkus di tanganku terjatuh, aku sudah tidak mampu lagi berkata-kata,
“umi, inikah arti ucapanmu tadi,?” aku bertanya-tanya dalam hati. Aku menembus kerumunan itu, dan aku berlari dengan cepat, dan pelarianku itu berhenti di depan seseorang sedang terbaring lemas tak berdaya, ditutupi kain batik diseluruh tubuhnya. Aku tak mampu menahan air mataku, aku tumpahkan pada saat itu juga. Aku sudah tidak kuat berkata apa-apa lagi, bahkan aku tidak mampu membuka kain ini. Aku menunduk dalam kesedihanku yang benar-benar tak pernah ku sangka sebelumnya. Aku terisak.
Baiklah setelah bermenit-menit aku menangis, aku memberanikan diri untuk melihat umiku kesekian kalinya dan mungkin yang terakhir kalinya. Aku diam. Aku benar-benar diam setelah aku berani membuka kain itu, bahkan aku tidak sanggup menangis. Terasa sentuhan tangan di pundakku sembari terisak hebat. Dia memelukku dan berkata,
“sabar anakku,..” iya, dia umi. Dan yang saat ini ada di hadapanku sedang terkujur tak berdaya adalah abang, Adit prasetyo, calon suamiku. Aku diam.
“dia mengalami kecelakaan dalam perjalanannya menuju kemari,” ibu menjelaskan apa yang terjadi. Dan aku tetap diam. Perlahan aku lelah. Aku ingin tidur. Mataku tertutup, terdengar tangisan hebat memanggil namaku, umi. Aku benar-benar lelah, aku tak berdaya. Aku pingsan di hari ini, 1 muharram 1433.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar